Jumat, 03 Juli 2009

Gelisah Hati

GelisahMenjalani hidup memang tak bisa dirumuskan dengan ilmu pasti. Itulah yang kemudian aku sadari.

   Aku bersama sepupuku Pipit pergi ke tempat servis komputer untuk membersihkan laptop yang terkena Virus.  Setelah beberapa menit menunggu, kami pergi berbelanja ke swalayan. Seperti biasa aku langsung menuju tempat bahan-bahan kue, sedangkan Pipit sibuk mencari bahan kebutuhan rumah tangganya. Kami sedang asyik dengan belanjaan ketika iba-tiba kami merasa lapar. Aku mengajak pipit makan siang di Quick Chicken, sebuah restoran kecil yang berjualan berbagai menu ayam seperti fried chicken dsb.

   Ada yang berbeda dari wajah salah satu pelayan rumah makan itu. Ia menyambut kami dengan tidak ramah sama sekali hingga aku berfikir untuk menegurnya. Tapi ach.. abaikan saja. Hal seperti ini tak semestinya aku ributkan. Kami duduk di kursi depan di tengah pengunjung yang sepi. Aku sepertinya lebih rileks memandang kehidupan. Ada satu kesadaran baru: alangkah menjemukanya dunia ini kalau semua orang memiliki karakter dan rupa yang sama dengan diriku.

   Waktu makan telah selesai. Degup jantungku berdetak-detak seperti tergores sebilah pisau tajam menyayat-nyayat.

Ada kesedihan yang mendalam ketika melihat ketidaksepurnaan. Seperti ingin memuntahkan makanan yang barusan tertelan karena rasa kasihan. Anak kecil itu! Anak itu berjalan bersama ayahnya. Wajahnya cacat tak sempurna. Kepalanya berbenjol-benjol seperti tumor yang akan segera mematikanya. Pilu aku melihatnya. Ia melihatku di balik pintu kaca rumah makan itu, menengadahkan tanganya demi sesuap nasi. Ayahnya menungguinya dari kejauhan. Hatiku meronta dan berteriak alangkah biadabnya seorang ayah yang memanfaatkan anaknya yang dalam keadaan memprihatikan. Aku ulurkan tanganku memberi sedikit yang aku punya. Ia terlihat girang. Tapi wajah itu tetap saja memprihatinkan. Aku menganggapnya ayah biadab. Ia merebut uang anaknya yang baru saja aku beri. Aku ingin tampar ayah biadab itu. Ingin sekali aku membantu bocah cacat itu tapi apalah daya! Wajah bocah cacat itu terlihat sedih. Aku bertanya padanya, "Adik sudah makan?"

   "Belum," jawabnya. Oh tuhan aku masih saja tak berdaya melihatnya. Ayahnya tersenyum mirip cewek matre jalanan habis mendapat uang. Huh.. Sebel. Benar memang, meskipun tak sempurna, ternyata hidup tetap lebih indah dan menarik.

Gelisah hatiku yang mendalam adalah bagaian dari rasa sosial kemanusian. Mungkin justru ketidaksempurnaan membuat kita saling melengkapi dan saling membantu.

3 komentar:

David Khoirul mengatakan...

Dear, aku terharu dg posting ini. Rasanya ingin aku satem bapak itu karena gregeten. I'm proud of you Dear. I love you

Abdul Cholik mengatakan...

Artikel menyentuh.mengapa pelayan itu kok menunjukkan muka aneh?Sayang ya,harusnya dia penuh senyuman agar tambah cantik.
Soal ayah,mungkin itu ayah sewaan lho mbak 9he..he..he,biasanya anak yang sewaan untuk minta-2)

Blognya apik nduk,maju terus.Salam dari pakde Surabaya.

Ael Tuban PhotoGraphy mengatakan...

persis yang aq alami di sidodadi jg hehehehehehe